Minggu, 27 November 2011

UBUD, BUMI SEHAT, DAN ROBIN LIM

Di depan sawah
Tidak terasa sudah sebulan aku tinggal di Ubud. Sekarang usia kehamilanku telah memasuki 31 minggu. Kalau dihitung dari HPL (Hari Perkiraan Lahir) berarti kurang 9 minggu lagi. Waktu berlalu dengan cepat. Meskipun pada awalnya aku sempat bimbang untuk berangkat ke Ubud dan tinggal di sini sendirian ternyata semakin hari aku semakin bersyukur karena telah menuruti kata hatiku untuk datang. 

Sawah Terasering
Ubud, suatu kota kecil termasuk wilayah kabupaten Gianyar, mulai aku kenal ketika membaca novel Eat, Pray, Love - nya Elizabeth Gilbert. Tempat yang cocok untuk peristirahatan ini masih memiliki hamparan sawah terasering di mana-mana. Suasana yang tenang dan religius. Setiap pagi aku terbangun oleh suara kokok ayam dan kicau burung. Berbeda dengan rumahku di Manokwari yang bersebelahan dengan sebuah sekolah. Jam 6.30 WIT suara motor dan mobil sudah menderu-deru yang bagiku merusak suasana pagi yang hening. Di Ubud raga dan jiwaku mendapatkan ketenangan yang dibutuhkannya untuk menyambut tugas baru yaitu menjadi seorang ibu. Tapi jangan bertanya tentang berapa banyak tempat yang sudah aku kunjungi di Ubud karena aku ke sini bukan untuk pelesiran sehingga aku tidak berniat melelahkan tubuhku dengan perjalanan. Satu-satunya tempat yang sering aku kunjungi adalah Bumi Sehat di Banjar Nyuh Kuning, dekat tempat wisata Monkey Forest.

Semakin sering mengunjungi Bumi Sehat aku semakin menyukai suasananya. Orang-orang yang ramah, bekerja dengan hati, dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada siapapun, kaya maupun miskin. Melalui Bumi Sehat aku berkenalan dengan yoga dan akupunktur, dua tradisi tua Asia yang sudah diakui kehebatannya oleh dunia. Yoga membantuku mengerti bagaimana bernapas dan postur tubuh yang benar sehingga dalam kondisi hamil aku tetap merasa nyaman. Akupunktur membantu meredakan stres dan melancarkan aliran energiku. Keduanya membuatku semakin hari semakin bertenaga. Karena itulah biarpun dengan perut yang semakin membesar aku tetap bisa mengurusi diriku sendiri. 

Bumi Sehat juga membuatku teringat pada toko bukuku di Manokwari. Sebenarnya semangatku mengelola toko buku itu sudah melemah. Mungkin karena kondisi emosionalku ketika hamil. Tetapi melihat semangat orang-orang di Bumi Sehat, aku seperti terbangun dan menyadari bahwa selama ini yang aku lakukan di Manokwari sudah sesuai dengan panggilan hatiku. Aku menyukai buku dan mengalami banyak pencerahan melalui buku sehingga aku juga ingin orang lain mendapatkannya juga. Itulah motivasi utamaku dulu membuka toko buku di tempat di mana buku masih sulit didapatkan. Hatiku berkobar-kobar oleh semangat untuk mengelola toko bukuku  menjadi lebih baik daripada sekarang ketika aku sudah kembali nanti. Dan aku tidak lagi merasa gentar dengan semua tantangan yang mungkin akan datang. Aku adalah jiwa dari toko buku itu, mirip dengan Ibu Robin Lim yang merupakan jiwa dari Bumi Sehat.

Saat ini dengan yakin aku bisa mengatakan bahwa Robin Lim adalah idolaku. Terakhir aku memiliki idola adalah ketika berumur 14 tahun. Setelah itu aku belum menemukan orang-orang yang membuatku terkagum-kagum. Ibu Robin Lim sekarang berusia 55 tahun. Aku sering bertemu perempuan-perempuan berusia 50 tahunan-an tetapi belum ada yang seperti dia. Wajah Ibu Robin sudah dipenuhi dengan keriput. Rambutnya pun mulai memutih. Tetapi aku melihat dia cantik dalam busana sehari-hari yang sederhana. Wajahnya selalu bersinar dan penuh cinta. Begitu pula kata-katanya. Tidak segan-segan dia mengucapkan, "I love you" pada keluarga, teman, dan pasiennya. Hanya berdekatan dengan Ibu Robin aku merasa hatiku dipenuhi dengan cinta. Aku ingin seperti dia. Semakin tua bukan semakin penuh ketakutan seperti yang terjadi pada mayoritas orang, tetapi semakin kaya dengan cinta, keberanian, dan pekerjaan baik. "Ibu Robin, I love you, too."

Mengenal Ubud, Bumi Sehat, dan Ibu Robin Lim ibarat menemukan harta karun bagiku, dan mungkin juga suatu titik balik untuk hidupku. Di sini aku mengalami pemulihan dan kesembuhan bagi tubuh dan jiwaku serta penguatan kembali untuk panggilan hatiku di Manokwari. 


The basic foundation of humanity is compassion and love. This is why, if even a few individuals simply try to create mental peace and happiness within themselves and act responsibly and kind-heartedly towards others, they will have a positive influence in their community. -- Dalai Lama

Kamis, 17 November 2011

DIRIMU

Kehadiranmu semakin nyata bagiku
Setiap gerakanmu adalah pertanda
Bahwa engkau hadir bersamaku
Dan aku tidak sendiri

Hanya kepadamu aku tidak bisa berbohong
Hanya dirimu yang tak mampu aku kelabui
Apa yang aku rasakan engkau merasakannya juga
Karena dirimu berada dekat dengan jantungku

Ketika aku cemas
Dirimu pun gelisah
Saat aku tenang
Engkau juga damai

Tolong ingatkan aku selalu
Untuk memberikan cintaku bagimu
Dan tidak memaksakan pikiranku kepadamu
Karena dirimu bukanlah miniaturku

Terima kasih
Telah memilihku 
Telah melaluiku
Dirimu hadir di sini

bidankita.com

Senin, 14 November 2011

LAYANAN PENUH KASIH SAYANG DI BUMI SEHAT : AKUPUNKTUR

Hari Senin kemarin dokter akupunktur sudah hadir kembali di Bumi Sehat. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Pukul 9.30 WITA aku sudah meluncur ke Bumi Sehat diantar oleh ojek langganan. Ketika mendaftar, petugasnya mengatakan bahwa berdasarkan nomor antrianku, aku akan dilayani pada jam 2 siang. Aku juga dipersilakan untuk kembali lagi nanti. Sambil mempertimbangkan apakah aku akan pulang dulu atau tidak, kembali aku duduk di kursi rotan di depan ruangan bersalin. Di sampingku ada 2 orang perempuan muda yang sedang duduk juga. Rupanya salah satu dari mereka akan mendapat akupunktur untuk ibu hamil yang mengalami keluhan sakit di perut. Aku memutuskan untuk tidak pulang dan mencoba menikmati kesibukan di sana. Lalu petugas pendaftaran tadi datang dan mengatakan bahwa aku bisa dilayani sekarang. Aku senang sekali. Ternyata intuisiku untuk tidak pulang itu benar.


galeriterapiakupunktur.blogspot.com
Di ruangan akupunktur telah disiapkan 6 tempat tidur. Aku mendapat tempat tidur yang paling kiri. Di sampingku sudah ada seorang perempuan bule sedang hamil dan sudah mendapatkan pelayanan akupunktur. Seorang petugas Bumi Sehat yang lain datang untuk mengukur tekanan darahku. Karena melihat aku lebih nyaman duduk daripada berbaring maka petugas ini memberiku tambahan bantal-bantal untuk ditaruh di punggungku. Bahkan dia menambahkan satu lagi bantal ketika dilihatnya aku masih kurang nyaman. 


Setelah menunggu sekitar 15 menit, karena dokternya harus berkeliling melayani pasien-pasien yang lain, akhirnya tibalah giliranku. Dokter akupunktur ini bernama Marco. Masih muda. Sepertinya berkebangsaan China tapi mungkin besar di Amerika kalau mendengar bahasa Inggris yang dia gunakan. Marco menanyakan keluhanku. Aku mengatakan sering terbangun pada malam hari hanya untuk berganti posisi tidur dan kadang-kadang betisku kram. Marco memegang kakiku dan dia mengatakan kakiku dingin. Lalu tanganku juga dipegang dan dikatakan tanganku hangat. Lidahku diperiksanya. Dia menyimpulkan bahwa tubuhku bagian atas lebih panas daripada kakiku karena aku banyak berpikir. Oops... ketahuan deh! Aku akui memang aku banyak berpikir meskipun berusaha untuk tidak panik. 


Marco mulai bekerja dengan jarum-jarumnya. Jarum pertama ditusukkan di dahiku, di antara alis mataku. Rasanya itu untuk membantu pikiranku menjadi lebih rileks. Dua jarum berikutnya dipasang di lengan kanan dan kiri. Selanjutnya dua jarum ditusukkan di bawah lutut kanan dan kiri agak keluar. Pada jarum-jarum ini juga dipasang moksa yang berfungsi menghangatkan kakiku. Dua jarum terakhir dipasang di titik antara ibu jari kaki dan jari kedua. Aku mendengar Marco berkata kepada petugas Bumi Sehat yang membantunya untuk menyalakan moksa bagiku sebanyak 2 putaran. Sekitar setengah jam aku duduk diam dan mencoba untuk rileks dengan 7 jarum menancap di tubuhku.


Moksa
einklang.com
Tibalah waktunya untuk melepas jarum-jarum tersebut. Petugas yang tadi memeriksa tekanan darahku datang lagi sambil membawa kotak tempat mengumpulkan jarum-jarum yang sudah dipakai dan kapas beralkohol. Dengan suara lembutnya petugas ini memintaku untuk menarik napas sebelum dia menarik jarum dari kulitku. Lalu kapas beralkohol itu diusapkan ke titik bekas jarum. Begitu terus sampai tubuhku bebas dari ketujuh jarum tadi. 


Aku merasa agak pegal karena duduk diam selama setengah jam tadi. Tapi efek akupunktur tadi terasa ketika aku tiba di rumah. Siang itu aku mengantuk dan bisa tidur selama 1 jam. Pada malam hari aku hanya terbangun satu kali untuk buang air dan mampu tertidur kembali tanpa kesulitan. 


Senin depan aku akan ikut akupunktur lagi. Meskipun tidak ada keluhan, ibu hamil bisa mendapatkan akupunktur untuk "Happy Baby Treatment". Semua pelayanan penuh kasih sayang yang aku dapatkan di Bumi Sehat itu harganya tak terhingga alias gratis. Aku sama sekali tidak ditarik satu rupiah pun. 


Terima kasih, Bumi Sehat. Terima kasih, Ibu Robin Lim. Aku semakin bersemangat mem-vote Ibu Robin Lim agar memenangkan CNN Hero 2011 sehingga semakin banyak pelayanan penuh kasih sayang yang bisa dibagikan bagi sesama yang membutuhkan. 


"Speak tenderly to them. Let there be kindness in your face, in your eyes, in your smile, in the warmth of your greeting. Always have a cheerful smile. Don't only give your care, but give your heart as well." ~Mother Teresa

Sabtu, 12 November 2011

MENJADI ORANG TUA

Setiap kali merasakan janinku bergerak aku seperti diingatkan bahwa sebentar lagi aku menjadi orang tua. Bagaimana rasanya menjadi orang tua? Sanggupkah aku dan suamiku nanti menjadi orang tua yang baik bagi anak kami?  Merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu membuatku teringat pada orang tuaku sendiri.  


Papa dan mama, Desember 2007
Mamaku seorang ibu rumah tangga sejati. Karena tidak berpendidikan tinggi maka mama tidak pernah berusaha mencari pekerjaan di luar rumah bahkan seingatku mama juga tidak berani membuka usaha sendiri. Tapi mamaku seorang yang rajin bekerja. Rumah kami yang kecil selalu bersih dan nyaman. Tidak berantakan karena semua barang diletakkan pada tempatnya. Biarpun memiliki dua anak yang umurnya hanya selisih 2 tahun dan sedang senang-senangnya bermain, mama tetap bisa menjaga rumah selalu rapi. Aku sering melihat mama sedang membersihkan jendela ketika aku bermain. Atau sedang mengepel lantai, membersihkan dapur dan menyikat kamar mandi. Terkadang mama juga pergi bersama teman-temannya. Tetapi rumah yang bersih, rapi, dan keluarga yang terurus selalu menjadi prioritasnya. 


Papaku adalah seorang karyawan perusahaan swasta dengan penghasilan biasa-biasa saja. Tidak terlalu kecil tapi juga tidak membuat kami bisa hidup mewah. Penghasilan papa yang pas-pasan saat itu membuat kami harus tinggal di gang kecil, hanya berjalan-jalan dalam kota ketika liburan, dan makan di rumah makan murah meriah ketika bosan makan di rumah, serta dibelikan baju baru hanya ketika mendekati Imlek. Papaku sangat perhatian terhadap pendidikan anak-anaknya. Papa selalu meluangkan waktu untuk mengingatkan kami belajar bahkan menemani belajar. Masa-masa itu mayoritas kaum keturunan Tionghoa selalu menyekolahkan anak-anak di sekolah swasta yang berbiaya tinggi. Tapi papaku mengambil keputusan berbeda. Menyadari bahwa gajinya tidak banyak maka papa menyekolahkan aku dan adikku di sekolah negeri sejak SD sampai perguruan tinggi. Rupanya papa seorang yang realistis. Papa ingin semua anak-anaknya minimal menjadi sarjana. Meskipun saudara dan teman-temannya menyayangkan keputusan papa untuk menyekolahkan kami di sekolah negeri tapi papa maju terus. Aku dan adikku akhirnya bisa menjadi sarjana dan mengenyam pendidikan di sekolah negeri favorit.


Papa dan mamaku adalah orang-orang sederhana tapi mereka memiliki tangan-tangan ajaib yang bisa mengubah kesederhanaan hidup kami menjadi sesuatu yang istimewa. Mereka selalu berusaha hidup jujur dan seimbang di hadapan anak-anak. Ketika tidak mempunyai uang untuk membeli sesuatu dengan terus terang mereka mengatakannya. Sepertinya mereka tidak memaksakan diri untuk membiayai hal-hal yang berada di luar kemampuan mereka. Contohnya ketika aku mengusulkan untuk berkuliah di universitas swasta favorit atau di universitas di luar kota, papa mengatakan bahwa dirinya belum mampu membiayaiku untuk keinginan itu sambil terus menyemangatiku untuk lulus UMPTN di kota kami.


Sepengetahuanku papa dan mama tidak mengenal tentang Zen Habits atau pola hidup Zen yang menekankan pada kesederhanaan, keteraturan, dan kekinian. Namun secara tidak sadar mereka sudah menerapkannya dalam keluarga kami. Dari masa kecil aku hanya bisa mengingat kebahagiaan dalam kesederhanaan.  Bagiku papa dan mama adalah orang tua yang sempurna karena hanya mereka yang sesuai untuk diriku dan bisa memenuhi semua kebutuhanku untuk bertumbuh secara tubuh, mental, dan jiwa menjadi diriku yang sekarang ini. 


Lalu akan menjadi orang tua seperti apakah diriku nanti masih merupakan misteri. Yang pasti menjadi orang tua adalah anugerah sekaligus tanggung jawab. 

Senin, 07 November 2011

LANGKAH DEMI LANGKAH YANG MEMBAWAKU KE UBUD

Setelah membaca semua artikel di Gentle Birth Indonesia, kemudian mulai mengerti konsep gentle birth, berkali-kali mengunjungi website Bumi Sehat, ber-friend dengan Ibu Robin Lim dan Yayasan Bumi Sehat di Facebook, follow Ibu Robin Lim dan Yayasan Bumi Sehat di Twitter, tidak serta merta membuatku langsung mantap menuju Ubud. Antara aku dan Ubud masih terbentang lautan dan daratan yang harus aku lewati. 


Aku mulai mengangankan homebirth, tapi rumahku yang nyaris semua ruangan sudah menjadi toko buku tidak memberikan tempat yang nyaman untuk itu. Aku memikirkan untuk membujuk dokter kandunganku untuk menerapkan gentle birth, tapi harapanku kandas karena sang dokter sendiri sedang membujukku untuk disembelih  disesar sejak usia kandunganku 3 bulan dengan alasan ini "bayi mahal". Cari bidan? Aku merasa tidak ada dorongan hati untuk itu. Mengikuti jejak para ibu Papua melahirkan? Wah, aku tidak berani melahirkan di dalam hutan dengan peralatan minim. Jika hanya Bumi Sehat, Ubud tempatnya, bagaimana aku bisa ke sana? Lampu merah menyala terang benderang.


Imelda Rosa
Pagi itu aku teringat seorang sahabat yang sudah lama sekali tidak berjumpa denganku, Imelda Rosa. Ketika aku pergi ke Bali di tahun 2003, Imel sedang bekerja di sana dan dia berbaik hati mentraktir aku dan suamiku makan ikan bakar di Jimbaran. Aku mengirim SMS ke Imel menanyakan apakah dia pernah mendengar tentang Bumi Sehat di Ubud. Jawaban yang aku terima mengatakan, "Aku punya teman yang pernah melahirkan di sana, Wi. Ini no handphone-nya." Hatiku langsung berdebar-debar membaca SMS balasan Imel itu. Tanpa menunggu lama aku segera menghubungi Rosa Dewi, teman Imel yang diceritakannya itu. Mungkin ada lebih dari 10 kali aku berbalasan SMS dengan Rosa yang dengan semangat menceritakan proses persalinannya di Bumi Sehat hampir 4 tahun yang lalu. Dua orang ini membuat lampu merah di kepalaku berubah menjadi kuning. Ada harapan.


Rosa Dewi
Rosa menyarankan aku untuk menghubungi Bumi Sehat dulu. Aku segan untuk menelepon lalu aku mengirimkan e-mail ke Bumi Sehat. Tapi tidak ada jawaban. Lalu aku memberanikan diri mengirim fb-message ke Ibu Robin langsung dan dijawab dengan cepat. Ibu Robin memberikan alamat e-mail dan nomor handphone-nya. Aku girang sekali hari itu. Harapanku semakin besar. Lalu aku menanyakan tentang multivitamin untuk ibu hamil. Ibu Robin membalas dengan meminta alamat rumahku. Multivitamin organik itu akan dikirim ke rumahku jika sudah tersedia. Ketika aku tanya berapa harganya, Ibu Robin menjawab,"No charge. Someday when you are wealthy you can make donation to Bumi Sehat." Aku membaca e-mail balasan tersebut sambil terharu. Hatiku mengatakan aku harus ke Ubud. 


Suamiku
Lampu di kepalaku sudah berkedip-kedip dari kuning mau menuju hijau. Tapi masih ada satu rintangan lagi yang harus aku lewati, yaitu Charles, suamiku. Sejak awal mengenal gentle birth aku sudah sering membicarakannya dengan suami. Secara umum dia setuju dengan gentle birth, tapi ketika untuk mendapatkan itu aku harus melahirkan di Ubud dia agak keberatan. Alasan yang paling utama karena aku tidak mempunyai keluarga di Bali yang bisa mendampingi. Menjawab keberatannya itu aku benar-benar harus berkepala dingin dengan lebih banyak memakai logika daripada perasaan. Aku mulai menyusun strategi untuk perjalanan ini. Mulai dari menyiapkan finansial, transportasi, akomodasi, dan pendukung kehidupanku di sana nanti. Suamiku baru  yakin untuk melepaskan aku setelah kurang lebih selama 4 bulan setiap malam aku mendongeng berbicara tentang gentle birth. "Terima kasih, Charles, karena telah mempercayaiku memilih birth provider yang sesuai dengan hatiku."


Aku & Ibu Robin
Lampu hijau sudah bersinar dengan terang benderang. Tanggal 25 Oktober 2011 lalu aku terbang melintasi pulau dan lautan dari Manokwari, singgah di Sorong, terbang lagi ke Makassar, menunggu 4 jam untuk pesawat yang membawaku ke Denpasar dan dilanjutkan dengan perjalanan dengan mobil selama 2 jam keesokkan harinya ke Ubud. Melihat Ibu Robin nyata di depan mata, tersenyum, menyapa, dan memelukku benar-benar adalah mimpi yang menjadi kenyataan. 

Minggu, 06 November 2011

MOJOK DI BUMI SEHAT

Pagi ini aku kembali mengunjungi Bumi Sehat dengan tujuan untuk akupunktur. Setelah tiba di sana aku mendapat informasi bahwa dokter akupunkturnya tidak ada di tempat karena sedang memperpanjang visa, dan aku disarankan menelepon dulu sebelum datang lagi lain waktu. Karena ojek yang mengantarku sudah pergi, dan karena aku sedang memiliki banyak waktu maka aku memutuskan untuk duduk di sudut sambil mengamati kesibukan orang-orang di Bumi Sehat. 


Aku memilih sebuah kursi rotan di depan kamar bersalin. Sambil duduk aku teringat salah satu tulisan Ibu Robin Lim di blognya : "Maybe I am overloaded with oxytocin the hormone of LOVE that drives birth.... " dan aku penasaran untuk membuktikan apakah memang hormon oksitoksin alias hormon cinta itu berlimpah di tempat itu.




Suasana Periksa Kehamilan
Dari tempat dudukku beberapa kali aku disapa oleh para bidan yang menanyakan apakah aku mau periksa kehamilan, apakah vitaminku sudah habis. Perhatian mereka kepada ibu hamil besar sekali. Dari ruangan di belakangku aku mendengar seorang ibu yang sedang melahirkan. Dia mengeluarkan suara-suara seperti desahan dan mengaduh lirih. Lalu seorang bidan berkata,"Tarik napas..... Bisa, Ibu pasti bisa." Lalu seorang bidan memanggil keluarga dari ibu yang sedang melahirkan itu untuk masuk  mendampingi. Beberapa saat kemudian aku mencium wangi dupa. Rupanya mereka sedang mendukung sang ibu dalam doa. 


Sepedanya Ibu Robin
Dari arah pintu masuk aku melihat sebuah sepeda yang dikendarai seorang perempuan setengah baya masuk ke halaman. Itu Ibu Robin yang baru datang. Setelah meletakkan sepedanya dekat sebuah pohon, Ibu Robin bergegas menuju wastafel, mencuci tangan, dan masuk ke kamar bersalin. Beberapa saat kemudian Ibu Robin keluar dan ketika melihatku beliau berkata, "Hi, Darling, when will your baby come out..... I saw you in facebook today." Sapaannya menghangatkan hatiku di pagi yang mendung ini.


Aku mojok di sana kurang lebih 1 jam. Selama 1 jam itu aku merasakan anakku bergerak-gerak. Mungkin karena dia mendengar suara tangis bayi. Aku merasa dia senang karena selama duduk di situ pantatku tidak sakit seperti bila aku duduk di depan laptop lebih dari 30 menit. 


Setelah merasa cukup acara mojokku pagi ini, aku meng-SMS ojek langganan untuk menjemputku. Sementara menunggu jemputan seorang bidan yang lewat di depanku kembali bertanya,"Ibu mau periksa kehamilan?" Hahahaha..... rupanya bidan-bidan di Bumi Sehat sangat menyayangi para ibu hamil.


Jika aku mengatakan bahwa udara di Bumi Sehat berlimpah hormon cinta itu tidak berlebihan. Aku bisa merasakannya. Tidak percaya? Mari berkunjung ke Bumi Sehat di Ubud.

Sabtu, 05 November 2011

KETIKA KESEPIAN DAN KEBOSANAN MULAI MENGINTIP

Periksa kehamilan di Yayasan Bumi Sehat sudah aku lakukan. Begitu pula dengan prenatal yoga 2 kali seminggu di sana. Tempat tinggal cukup nyaman sudah tersedia. Jaringan internet, lancar tanpa hambatan dan murah. Lingkungan yang santai tanpa tuntutan pekerjaan sudah aku nikmati selama kurang lebih 10 hari. Tiba-tiba aku merasa jenuh dan mulai merindukan orang-orang yang selama ini selalu aku temui setiap hari. Hatiku sedih dan aku menangis. Seolah-olah aku sebatang kara di dunia ini. Pada saat suasana hati yang muram itu aku merasakan gerakan anakku. Gerakkan ini menyadarkanku bahwa bukan tanpa alasan kuat aku berada di Ubud. Lalu aku mulai menyusun kembali alasan-alasan yang membawaku ke sini, yaitu untuk mempersembahkan gentle birth bagi bayiku dan memberikan suasana santai untuk diriku sendiri. Di mana kedua hal tersebut tidak mungkin aku dapatkan di Manokwari.


agzany.blogspot.com
Lalu bagaimana dengan rasa sepi dan bosan yang mulai mengintip? 


Seorang teman menceritakan kepadaku tentang para turis asing yang tinggal lama di Bali.  Mereka datang khusus untuk menyepi. Ada di antara mereka yang melukis, bermeditasi, memperdalam yoga, atau belajar budaya Bali. Aku pun mulai membayangkan diriku seperti salah satu turis asing tersebut. Bedanya aku datang ke Ubud untuk melahirkan di mana hari-hari penantian ini bisa aku isi dengan kegiatan-kegiatan yang sudah lama ingin aku lakukan - tetapi tidak sempat karena kesibukan pekerjaan sehari-hari - yaitu menulis dan merajut. 


Terbangun di pagi hari oleh kokok ayam dan kicau burung, disambut udara pagi yang segar ketika membuka pintu dan jendela, minum air putih hangat yang diperasi sedikit lemon sambil menapak bumi pada sepetak rumput di teras, kemudian menjadikan buah-buahan segar sebagai makanan pertama, lalu dilanjutkan dengan sarapan, menyalakan laptop, dan menulis, mungkin inilah kegiatan impian yang aku inginkan setiap pagi. Pada saat menulis sudah terasa cukup, merajut bisa menjadi pilihan yang menarik lainnya. 


Waktuku di Ubud tidak banyak. Paling lama 6 bulan. Aku tidak boleh menyia-nyiakannya dengan memikirkan kesepian dan kebosanan yang bisa datang kapan dan di mana saja. Sekali lagi aku mau menikmati setiap detikku di Ubud ini. Karena bukan kebetulan aku bisa berada di sini sekarang.


Kesepian tidak bisa disembuhkan dengan cara berhubungan dengan orang lain, ia hanya bisa sembuh dengan cara berhubungan dengan diri yang ada di dalam. - Gobind Vashdev







MENEMUKAN RUMAH DI UBUD

Masih jam 4.30 WITA ketika aku terbangun pagi itu. Pikiranku terus berputar karena aku  belum menemukan tempat tinggal di Ubud. Aku masih di Jimbaran. Meskipun sudah menghubungi seorang kenalan untuk membantu mencarikan kamar yang bisa aku sewa di Ubud, tetapi keberadaanku yang jauh dari Ubud membuat proses pencarian ini menjadi tidak efektif. Aku harus menentukan sendiri apakah aku menyukai kamar tersebut atau tidak. Pagi itu aku memutuskan aku harus ke Ubud. Tinggal di hotel dulu untuk sementara sambil mencari tempat tinggal seperti yang aku inginkan.

Tunjung Bungalows
Tanggal 28 Oktober 2011, sahabatku beserta keluarganya kembali mengantarku ke Ubud. Kami mulai dengan mencari hotel di sekitar Yayasan Bumi Sehat. Tetapi karena tarifnya melebihi anggaranku maka kami terpaksa mencari di lokasi yang agak jauh. Setelah bertanya ke beberapa orang, akhirnya aku memilih Tunjung Bungalows sebagai pos pertamaku di Ubud. Penginapan dengan harga terjangkau dan memiliki taman dan kolam ikan yang indah persis di depan kamarku. Aku mengatakan kepada pemiliknya bahwa aku berencana menginap selama 3 hari. Padahal aku belum tahu apakah dalam 3 hari itu aku pasti mendapatkan tempat tinggal. 


Keesokan harinya orang tuaku dari Surabaya datang berkunjung. Kami menghabiskan waktu bersama selama 2 hari. Biarpun merasa senang bisa bertemu mereka, aku masih gelisah karena belum mendapatkan tempat tinggal tetap. Pada hari Minggu siang tiba-tiba aku terdorong mengusulkan kepada mereka untuk makan siang di Bali Buddha. Melalui salah satu pramusaji di sanalah aku mendapatkan informasi kamar yang bisa aku sewa untuk beberapa bulan yaitu Ibu Ratna Homestay. Inilah rumahku di Ubud sekarang 
Tampak Depan

Tempat tidurnya

Lemari dan Meja Rias
Kamar Mandi
Dapur
Meja Kerja

Sampai hari ini aku merasa nyaman tinggal di sini. Biarpun tidak terlalu dekat dengan Yayasan Bumi Sehat tetapi lingkungannya mendukung untuk pemenuhan kebutuhan makanku sehari-hari. Harganya juga masih masuk dalam anggaranku. Udara yang sejuk benar-benar surga bagi ibu hamil seperti diriku.

Proses pencarian dan penemuan tempat tinggal ini mengajariku bahwa dalam kebutuhan apa pun pertama-tama aku harus tenang. Lalu mulai mendengarkan kata hati. Ketika aku tenang, desakan hatiku menjadi bukan sekedar perasaan kacau tetapi sebuah intuisi yang bisa aku ikuti.

UBUD, TEMPAT YANG TAK PERNAH TERBAYANGKAN

Berkunjung ke pulau Bali terakhir kali aku lakukan pada tanggal 11 - 14 Maret 2003 saat berbulan madu. Setelah kami menetap di Manokwari, Papua Barat, rasanya Bali semakin jauh dan tidak lagi menarik untuk dimasukkan dalam daftar tempat yang wajib dikunjungi.  Karena alam Papua sudah cukup indah untuk dinikmati sehingga tidak perlu harus ke Bali. 

Tanpa aku sangka pada bulan Mei 2011 aku diberi kesempatan untuk hamil, anak pertama kami. Mulailah aku mencari informasi tentang kehamilan yang sehat. Sampai suatu hari aku membaca tentang Gentle Birth di http://www.gentlebirthindonesia.com/. Berawal dari sinilah aku mengenal Yayasan Bumi Sehat. Aku juga banyak membaca artikel-artikel tentang kehamilan dan melahirkan yang lain. Walaupun awalnya masih ragu akhirnya aku berketetapan hati untuk mempersembahkan gentle birth bagi buah hatiku. 

Kerinduan yang besar untuk memberikan proses kelahiran yang minim trauma ini memberiku keberanian meninggalkan Manokwari pada usia kehamilan 26 minggu sendirian karena suamiku belum mempunyai kesempatan pada waktu dekat. Pada tanggal 25 Oktober 2011 aku mendarat di pulau Dewata. Disambut matahari berwarna kuning telur asin di ujung landasan bandara Ngurah Rai aku menjejakkan kakiku kembali di pulau Bali. 

Seorang sahabat dan keluarganya telah menantikanku di bandara. Aku diijinkan tinggal bersama mereka ketika aku baru tiba. Dengan gembira mereka mengantarku ke Ubud, tempat Yayasan Bumi Sehat berada, keesokkan harinya. Aku sungguh beruntung karena bertemu langsung dengan Ibu Robin Lim - bidan, pimpinan dari yayasan tersebut, dan kandidat CNN Hero 2011. Ibu Robin sendiri yang memeriksa kandunganku. Wajahnya yang teduh-keibuan itu begitu menenangkan. Apalagi ketika dia mengatakan bahwa kondisiku bagus. Segala kelelahan selama perjalanan dari Manokwari ke Bali terhapus seketika. 

Hari Perkiraan Lahir (HPL) anakku masih cukup lama, yaitu 30 Januari 2012. Masih banyak waktu yang akan aku habiskan di Ubud. Akan ada berbagai pengalaman, pembelajaran, dan pendewasaan yang tersedia untukku asalkan aku mampu menikmati setiap detik hidupku. 

"Manusia bahagia tidak memerlukan semua hal yang terbaik... tetapi manusia bahagia menjadikan apa yang dimilikinya sesuatu yang terbaik."